Sudah setahun
lebih berlalu sejak runtuhnya dinding harapan ini. Kita terhalang jurang yang
tak mampu aku sebrangi. Seluruh hobi yang dulu kau geluti, perlahan aku
pelajari. Membuatku kian mengerti, inginku masuk ke dunia yang membuatmu merasa
berarti.
Ada hati yang sengaja dibiarkan patah dan terkubur lantas tertimbun tanah, ada pula jemari yang dibiarkan sendiri dengan sangat jelas tak kau tauti.
Seluruh luka telah ku biarkan tersiram cuka, esok harinya ku biarkan terguyur vodka, namun tetap menganga bahkan jauh lebih
terbuka. Terusik goresan memar yang masih meronta, saat serumpun tubuh sudah tak
terima bahkan memaksa tuk melupa.
Diantara perjalanan panjang menuju pulang,
yang aku tahu hanyalah kita yang kian memburam. Dengan dekap dan aral yang
melaju tak tahu kemana menuju. Di ujung peraduan penat yang menjerat, kita
mengeja setengah jejak diantara selamat dan tamat.
Riuh, dipaksa utuh sekalipun tetap tak mampu
membasuh, hingga perlahan melepuh.
Maaf saat itu
aku merusak hatimu begitu parah –sama sepertimu, akupun kehilangan arah. Bahkan
terlalu cepat jejakmu hilang di duniaku. Izinkan aku mengenangmu sebentar saja,
karena luka yang kurawat tak kuasa berdiri sendiri.
Terima kasih
pernah ada, berjalan beriringan sebentar, menggenggam mimpi yang sama, menuju
tujuan yang tak pernah tercapai. Sesuatu yang singkat-singkat memang selalu
saja membuat sekarat. Setiap kata pergi, ada makna yang ingin selalu
dimengerti.
Seperti kata mereka yang lebih dahulu merasakan,
kalau memang untukmu, segalanya akan dikuatkan
sewaktu bertahan,
kalau memang bukan untukmu, segalanya akan
dimudahkan sewaktu melepaskan.
Kepada siapapun yang rela membaca aksara yang usang ini,
katakan padanya,
aku sudah menemukan kebahagiaan yang jauh
melampau batas.
Hingga tak ada lagi cemas, tetaplah bangkit
hingga tumbuh menjadi emas.
-y
Komentar
Posting Komentar