BERGURAU BERSAMA NALAR


Bolehkah aku mengatakan serpihan rasa yang kelam?
Jika kau berkenan, akan ku putar desiran ingatan itu.
Sebelumnya waktu yang ku anggap berhasil,
ia dengan beraninya mempersatukan kita yang tak sama.

Ah, menurutku perbedaan urusan belakangan.
Tetapi beda halnya jika memang dirimu mengedepankan ego.
Maaf jika ku sebut kau pergi dengan cara sepihak.
Tak apa jika kau tak terima,
tapi kurasa bicaraku tepat

Dua orang yang terlalu sibuk menyalahkan,
- kau dan aku, tentunya.
Hingga tak satupun terpikir alasan mengapa kita dipersatukan.
Lucu sekali, bukan?

Dalam rangkaian sajak yang pilu ini,
Aku menanggung malu mengingatmu lagi.
Aku bermain adu dengan nalarku sendiri.
Aku menaruh rindu disela-sela angin malam.
Aku, aku, dan aku.
Lalu kau?
Mana peduli?
Rasaku tersayat kian merapuh pun kau tetap pergi.

Jangan pikirkan bagaimana aku terbuang layaknya sampah.
Jangan pikirkan bagaimana aku tak pernah dihargai.
Jangan pikirkan bagaimana aku pergi dengan sumpah serapah.
Pikirkanlah dulu bahagiamu.
Sebab, bahagiaku akan datang beringingan jika kau pun bahagia.

Kau bilang diriku ini berlebihan,
ku balas “karena kau tak pernah merasakan”.
Janji yang kau rapal erat-erat ulurkanlah.
Aku tak marah, kurasa kau pun acuh seakan menolak mentah.

Sebab pergimu yang sangat jauh,
adalah ketika kau jatuh cinta lagi kepada selain aku.
Doaku saat ini,
Semoga di delusi nanti, kau tak akan datang lagi.

-y

Komentar

Posting Komentar